Selasa, 09 November 2010

Bioethanol dari Limbah Salak Pondoh

Bioetanol dari Limbah Salak Pondoh, Kenapa Tidak?

Rifa Nadia Nurfuadah - Okezone
Senin, 11 Oktober 2010 - 15:45 wib

Ilustrasi: ist.
JAKARTA - Setiap bulan, petani salak di Dusun Ledoknongko, Turi, Sleman, membuang sekira satu hingga tiga ton buah salak yang cacat saat dipanen atau sudah membusuk. Kebiasaan ini berangsur berubah setelah sejumlah mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) mengolah limbah tersebut menjadi biotenol menggunakan destilator. Kini, bioetanol dari limbah salak pondoh tersebut dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak.

"Sementara, sisa hasil destilasi berupa ampas bisa dibuat pupuk organik untuk pertanian," kata salah satu anggota tim peneliti UGM Adhita Sri Prabakusuma, seperti dinukil dari situs UGM, Senin (11/10/2010).

Sekadar informasi, saat ini salak pondoh asli Sleman sudah diekspor ke China. Sementara, salak busuk sangat mengganggu ekspor. Namun, sesuai ketentuan, limbah salak tersebut tidak boleh dibuang ke kebun. Sehingga, pembuatan bioetanol tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat mengatasi limbah salak pondoh, mendukung program pertanian terpadu, serta menerapkan energi ramah lingkungan. Bahkan, Desa Turi diharapkan bisa diinisiasi sebagai desa mandiri energi, serta pengembangan pertanian berkelanjutan dan terpadu.

Praba menjelaskan, 10 kilogram limbah salak pondok bisa menghasilkan sedikitnya satu liter bioetanol. Bioetanol ini dibuat dengan memfermentasikan limbah salak pondoh dengan menambah ragi dan urea selama seminggu. Cairan fermentasi ini kemudian dipanaskan dengan suhu 70 derajat pada tabung destilasi. "Bioetanol merupakan produk akhir dari proses pemanasan tersebut," imbuh mahasiswa jurusan Budidaya Pertanian tersebut.

Cairan bioetanol tersebut kemudian dimasukkan ke dalam botol plastik dengan selang pipa dan ditutup rapat. Selanjutnya, cairan dialirkan ke kompor gas dengan cara disuntik. Selain sebagai bahan bakar untuk memasak, cairan bioetanol tersebut bisa juga dipasarkan ke apotek atau laboratorium. Praba mengklaim, harga jualnya bisa mencapai Rp20 ribu -30 ribu per liter.

Saat ini, produksi bioetanol dari salak pondoh baru mencapai 20-30 liter per bulan, karena baru dikelola satu kelompok tani, si Cantik, yang beranggotakan 48 orang. Ketua kelompok tani yang berasal dari desa Ledoknongko, Banunkerto, Turi, Sleman, Purwanto Ismaya mengaku kesulitan dalam proses sosialisasi teknologi baru tersebut. Kesulitan utama, aku Purwanto, adalah karena tingkat pendidikan mereka berbeda-beda. "Apalagi ini barang baru, secara ekonomis memang belum memuaskan secara langsung," imbuhnya.

Meski demikian, Purwanto menilai, saat ini para petani mulai melihat limbah salak pondoh sebagai sesuatu yang potensial dan bermanfaat. "Dulu, sekira lima persen dari seluruh hasil panen buah salak yang tidak layak jual atau busuk akan dibuang percuma. Sekarang, para petani melihat limbah tersebut sebagai sumber penghasilan tambahan," ujar Purwanto.

Tidak hanya itu, baru-baru ini Praba bahkan diundang mempresentasikan hasil penelitiannya dalam International Agriculture Symposium di Malaysia.(rhs)


Taken from :  http://kampus.okezone.com

1 komentar: